Bali dikenal sebagai daerah yang masih menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Hal ini membuat Bali dikagumi bukan hanya oleh wisatawan dalam negeri tetapi juga oleh wisatawan mancanegara. Namun di balik itu disadari atau tidak telah terjadi penyalahgunaan budaya yang sangat masiv yang cepat atau lambat justru merendahkan budaya Bali itu sendiri di mata masyarakat luar.
Penyalahgunaan ini terjadi hampir di semua bidang aspek kehidupan masyarakat Bali dan menjadi semakin parah ketika penyalahgunaan ini justru dikaitkan ke ranah agama Hindu untuk menguatkan argumen mereka terhadap penafsiran yang mereka lakukan terhadap budaya Bali.
Yang menyedihkan penyalahgunaan budaya ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam yang memang mewarisi budaya leluhur dan menerimanya begitu saja tanpa mempertimbangkan konteknya, tetapi juga dilakukan oleh kaum terpelajar dengan kedok pelestarian budaya.
Contoh pertama yang ingin saya bagi adalah maraknya pencarian indentitas yang cenderung eksklusif yang dilakukan oleh orang-orang Bali. Mereka tiba-tiba menjadi giat menelusuri trah leluhur mereka lewat lontar-lontar babad yang bertebaran di Bali. Hal ini sebenarnya bagus sepanjang tujuannya adalah penghormatan terhadap leluhur. Nyatanya kegiatan ini selalu bermuara pada keinginan untuk menyatakan "keagungan" atau "kegustian" diri mereka yang ujungnya meminta pengakuan dan penghargaan masyarakat atas gelar yang mereka sematkan sendiri, tanpa merasa perlu memeriksa kepantasan diri mereka atas gelar tersebut.
Arya Weda Karna baru-baru ini mengorganisir suatu organisasai keluarga besarnya, suatu hal yang sepatutnya diapresiasi. Tetapi belangnya segera terbongkar ketika akhirnya dia merekomendasikan pemberian gelar kebangsawanan kepada seluruh pesertanya. Tidak jelas motif semua ini, namun mudah ditebak tidak jauh-jauh dari keinginan untuk dianggap lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan, atau motif politik!!!!
Satu hal yang aneh dari kegiatan pencarian leluhur ini adalah, bahwa mereka selalu berhenti ketika sampai kepada seseorang yang diklaim sebagi leluhur mereka itu memegang jabatan tertinggi sehingga memperoleh gelar kebangsawanan tinggi pula. Tidak pernah ada usaha untuk menelusuri lebih jauh lagi. Padahal mungkin saja diatas mereka yang memegang jabatan tertinggi itu bisa saja seorang biasa atau bahkan pengemis? perampok? Hal ini jelas menguatkan tuduhan mengenai niat mereka sebenarnaya.
Contoh lain adalah penolakan yang sangat keras terhadap orang-orang "biasa" untuk menikahi seseorang yang dicintainya yang berasal dari kalangan yang merasa berderajat lebih tinggi. Si ketut akan sangat sulit menikahi Ida Ayu, Anak Agung dll karena dianggap tidak sederajat. Aneh bin ajaib orang-orang ini ternyata tersinggung pula ketika agama Hindu (Bali) dikaitkan dengan kasta tanpa menyadari bahwa merekalah penyebab Hindu(Bali) dikaitkan dengan kasta yang mana jelas-jelas Hindu (Bali) tidak pernah mengajarkan kasta!!!!
Saya pernah mengalami pengalaman pahit, ketika setelah hari raya Galungan seorang teman yang kebetulan adalah seorang anak agung berkunjung ke rumah saya. Sebagai tuan rumah saya pun menyuguhinya dengan buah sisa hari raya Galungan. Teman saya menolak memakannya, suatu hal yang harusnya biasa bagi saya. Tetapi menjadi luar biasa ketika dia menjelaskan bahwa dia tidak mau memakannya karena akan menyinggung leluhurnya yang katanya lebih tinggi dari leluhur saya. Sungguh suatu klaim yang menyakitkan bagi saya, terlebih lagi ketika dia mengatakan bahwa hal itu ada "lontar"nya, sebuah upaya mengaitkannya dengan Hindu.
Yang lebih parah adalah kebiasaan golongan mastarakat tertentu yang menolak untuk diperciki tirta (air suci) oleh seorang pemangku (pengurus sebuah Pura) karena menganggap pemanggku itu berasal dari golongan yang lebih rendah. Mereka baru bersedia jika mengetahui pemangkunya berasal dari golongan sederajat atau lebih tinggi dari mereka (tentu dengan interpretasi mereka sendiri mengenai tinggi rendahnya derajat seseorang)
Di bidang sosial kemasyarakatan, penyalahgunaan fungsi pecalang semakin menjadi-jadi. Arogansi pecalang tidak hanya membuat muak masyarakat luar yang dirugikan tetapi juga membuat muak masyarakat Bali sendiri. Sampai-sampai ada sindiran "orang paling baik pun akan menjadi sok jago jika sudah berpakaian pecalang".
Penyalahgunaan budaya Bali ini di banyak tempat sudah menimbulkan konflik. Salah satu contoh adalah kemarahan masyarakat desa Tusan Kabupaten Klungkung kepada kaum "Brahmana" , karena mereka merasa sebagai "Brahmana" sehingga tidak perlu ngayah (melakukan kewajiban sebagai warga). Padahal sangat jelas yang dimaksud Brahmana adalah seseorang yang sudah di-Dwijati (upacara untuk menjadi Brahmana/Sulinggih), dan brahmana memang dibebaskan dari kewajibannya di banjar atau pun desa karena beliau sudah memiliki kewajiban lain sebagai seorang Brahmana yang lebih berat dari masyarakat lainnya. Ini tidak berlaku bagi anak-anak beliau yang oleh karena belum di-dwijati tentu saja bukan termasuk sebagai brahmana, mereka hanya anak dari seorang brahmana dan tentu saja tetap harus melakukan kewajiban seperti warga yang lain.
Sebenarnya masih banyak contoh lain penyalahgunaan budaya yang dilakukan segelintir masyarakat Bali, yang jika dibiarkan akan menyebabkan semakin banyaknya konflik antar masyarakat Bali sendiri. Oleh karena itu perlu ada semacam "rethinking" budaya Bali untuk menyelaraskan pengertian yang sebenarnya disesuaikan dengan kontek penerapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih telah berkunjung dan berkomentar...